Kamis, 19 Mei 2011

Pesan Terakhir


Hembusan udara dini hari membelai perlahan kulitku yang telanjang terlepas dari selimutku, membuatku semakin masuk ke dalam dunia mimpi di dalam selimutku, dunia khayal yang membebaskan semua beban pikiran dan semua tugasku. Hal yang aku inginkan, yang terkadang aku harapkan, yaitu hidup bebas memikirkan urusanku sendiri, bukan urusan orang lain. Bahkan akupun tak mengenal siapa sebenarnya mereka. Buat apa aku memikirkan mereka? Bahkan, terkadang merekapun tak memikirkanku! Buat apa aku mempedulikan orang yang sering membuatku jengkel dan tak sopan denganku! Tetapi, aku tidak bisa. Hati nuraniku kembali terpanggil. Aku sadar ini bukan salah mereka. Mereka tak salah. Atau mungkin aku yang salah mengerti mereka.
Aku membuka selimut yang membalut tubuhku bak kepompong. Mencoba mengumpulkan nyawa dan melangkah perlahan menuju pintu-pintu kamar yang sering sekali aku kunjungi, bahkan aku bisa mencapainya dengan mata tertutup sekalipun. Aku membuka pintu itu dan melihat anak-anak kecil yang masih tertidur pulas berada di dalam mimpi indah mereka yang mereka dambakan, atau mungkin mimpi yang mereka tak harapkan.
“Anak-anak, ayo bangun! Sekarang udah jam setengah lima. Ayo-ayo bangun, sholat subuh dulu,” kataku. Aku kagum dengan mereka. Walaupun mereka masih berumur antara tiga sampai sepuluh tahun, mereka sudah cukup mandiri. Aku teringat saat aku masih kecil, aku sulit bangun untuk sholah subuh. Sampai-sampai ibuku pun harus turun tangan membangunkanku. Aku merasa kasihan. Bukan kepada mereka tetapi kepada orang tua mereka yang telah menyia-nyiakan anak-anak pintar seperti mereka. Aku menuju ke kamar-kamar lainnya untuk membangunkan mereka semua.
Aku membimbing mereka menuju kamar mandi dan mushola di bantu pengurus panti yang lain. Setelah kami semua siap, kami sholat berjamaah dipimpin oleh ketua panti asuhan, Pak Solihin. Sayup-sayup tercium aroma masakan yang siap untuk disantap. Setelah selesai shlat, aku membantu juru masak panti, Bi Rohmah, untuk menyiapkannya di atas meja makan selagi anak-anak panti yang lain membereskan kamar mereka dan ada yang bersiap untuk pergi sekolah. Setelah mereka semua selesai dengan urusan mereka masing-masing, mereka sarapan pagi bersama di ruang makan. Aku pun teringat kepada Nova, salah satu anak panti yang sedang sakit, yang kembali tidur di kamarnya. Aku membawakan sepiring sarapan untuknya dan mengantarkannya.
“Pagi Nova, gimana udah mendingan?” kataku.
“Belum teteh, aku masih pusing. Tadi aja pas sholat kayak yang mau jatuh,”
“O gitu, ya udah kamu ga usah sekolah dulu ya, nanti teteh telfon guru kamu di sekolah. Udah ini kamu makan dulu,” kataku sambil membantunya duduk di tempat tidur dan menyodorkan sarapannya.
“Teh Rina, aku mau cerita,” katanya saat aku beranjak keluar kamar.
“Mau cerita apa, Nov?”
“Tentang orang tua aku. Aku tadi malem kemimpi lagi. Emang bener ya apa yang di ceritain sama Kak Romi?” tanyanya. Dan aku bingung mau menjelaskan apa kepadanya. Romi adalah salah satu anak tertua di Panti Asuhan Citra Nusantara. Dia sudah 16 tahun tinggal di panti asuhan ini sejak ia masih berwarna merah, oleh karena itu dia tahu banyak tentang anak-anak di panti asuhan ini. Ia ditemukan di depan sebuah toko oleh salah seorang pegawai toko tersebut. Tak ada yang tahu siapa orang tua Romi. Diduga orang tua Romi berasal dari luar kota dan sengaja membuang Romi.
“Memang Romi bilang apa?” tanyaku seakan-akan aku tidak tahu apa-apa sambil aku memikirkan apa yang akan aku katakan.
“Dia bilang kalau aku dititipkan di sini karena mamaku gila ditinggal ayahku yang berselingkuh. Dan katanya setelah aku lahir mamaku pernah memukuli dan menelantarkan aku, karena aku tidak diharapkan lagi olehnya” katanya sambil menunjukkan bekas memar di lengan kanan atasnya.
“Bukan sayang, kamu dititipkan di sini karena orang tua mu tidak memiliki biaya untuk kamu, mereka takut kalau kamu hidup bersama mereka kamu ga akan hidup seperti anak yang lainnya. Mereka sayang sama kamu, mereka takut kamu ga bisa meraih cita-cita kamu. Orang tua kamu sendiri ko yang menitipkan kamu ke sini dan mereka menjelaskan itu semua. Ya udah sekarang kamu makan, teteh mau nyuci piring dulu,” kataku. Terpahat senyuman puas di wajah Nova. Ya Allah maafkanlah aku, aku menginginkan yang terbaik untuknya. Aku berpikir dia masih terlalu kecil untuk mengetahui kepahitan ini, mungkin beberapa tahun lagi aku akan memberitahukan hal ini, ya walaupun aku meragukan keberanianku.
Anak-anak panti yang lain kebanyakan sudah pergi ke sekolah. Aku segera menuju tempat cuci piring untuk membantu Bi Rohmah.
“Rin, kapan kamu menikah sama Andri?” tanyanya.
“Ya ga tau Bi kemarin dia nanya lagi kapan mau serius, katanya sih orang tuanya udah nanyain terus. Tapi gimana ya, Mas Andri ga setuju kalau aku bekerja di panti asuhan. Dia ingin aku ngejaga cabang tokonya aja yang baru. Iya sih aku ngerti aku ga mungkin tinggal di panti asuhan kalau aku sudah menikah, tapi aku masih berat hati untuk meninggalkan anak-anak ini,”
“Kamu masih muda Rin, raih apa yang kamu impikan. Andri orangnya baik, jarang loh ada orang sesabar dia. Nanti kalau ada yang ngerebut kamu baru ngerasa nyesel deh,” katanya sambil menyikutku.
“Hahaha Bibi ada-ada aja ah,” kataku.
Piring-piring, sendok-sendok, gelas-gelas sudah mengkilap tersusun rapi di atas rak. Aku segera menuju ruang bermain. Disana sudah ada Santi dan anak-anak kecil yang belum bersekolah, masih terdapat 10 anak yang belum bersekolah di panti asuhan ini. Aku mengamati Santi sedang mengajarkan cara membuat boneka tangan dari kaus kaki bekas. Santi dibantu oleh Karin, seorang pengasuh baru. Dia baru berusia 20 tahun, aku kagum dia lebih memilih untuk mengasuh anak-anak di panti asuhan ini walaupun dengan gaji yang tak seberapa.
“Teteh, teteh, ini gimana? Susah,” kata Domi, seorang anak laki-laki yang merupakan korban selamat dari bencana tsunami di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia ditemukan mengambang di atas sebuah papan kayu yang tersangkut tertahan dua buah pohon. Kabarnya seluruh anggota keluarganya tewas tersapu tsunami itu. Pada saat Domi datang ke panti asuhan ini, aku melihat senyuman yang sangat indah terpancar dari mukanya yang bersih seakan cahaya keluar menembus pori-pori kulitnya. Aku pun langsung berpikir, anak ini begitu suci sampai-sampai Allah memilihnya untuk tetap hidup dan menyusn masa depannya.
Aku melihat Santi dan Karin begitu sibuk mengurus anak-anak lain, sehingga aku segera menuju Domi dan membantunya. “Apanya yang susah Domi?”
“Ini masa ga bisa di tempel matanya, jatuh mulu dari tadi,” jawabnya polos.
“Domi kamu kasih lem dulu di belakang matanya baru kamu tempel,” kataku sambil mencontohkannya. Domi pun segera melakukan seperti apa yang aku lakukan. Dia tampak begitu bersemangat dengan apa yang dia kerjakan sekarang. Tampak tiga gigi depannya yang baru muncul terlihat dari sela-sela bibirnya. Hal-hal lucu seperti ini lah yang membuatku semakin berat meninggalkan mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan seorang gadis kecil. Teriakan itu bukan sekedar teriakan biasa, tetapi seperti seorang pemberontak yang melawan pada saat ditangkap. Penuh amarah dan tak terkendali. Semua anak-anak kaget dan untuk sementara teralihkan dari pekerjaan mereka. Seperti Denisa yang langsung memeluk erat Santi, Denis merupakan gadis berusia tiga tahun yang kabur dari rumahnya beberapa bulan yang lalu, dia tidak mau memberi tahu dimana tempat dia tinggal dan di badannya ditemukan beberapa luka memar yang masih membiru. Diduga Denisa merupakan korban kekerasan orang tuanya.
Aku segera berlari ke arah sumber suara liar itu berasal, sementara Santi dan Karin mencoba untuk menenangkan situasi di ruang bermain. Aku melihat seorang gadis kecil berumur tujuh tahun berpakaian kucel sedang diseret masuk ke ruang tamu panti oleh seorang pria. Gadis itu memakai celana jeans biru muda panjang yang telah terkena banyak noda dan kaos kuning muda panjang yang telah usang. Anak itu memberontak sejadi-jadinya. Dia dipaksa duduk dan dipegangi oleh pria itu. Aku pun segera duduk di samping Pak Solihin.
“Pak,  saya Rahman ketua RT 02 Kelurahan Cisangkrai, saya menemukan anak ini sedang membuat kerusuhan di pasar. Awalnya dia mengambil roti yang dijual di pasar tersebut, lalu pemilik toko itu marah dan mengambil paksa roti yang dia ambil. Nah, abis itu dia ngamuk-ngamuk di pasar. Ga ada yang tahu siapa orang tuanya atau pun dimana dia tinggal. Baru hari ini aja saya ngeliat anak ini di daerah saya. Ya saya minta tolong sama bapak dan seluruh pihak panti supaya mau mengurus anak ini. Warga saya ga ada yang sanggup buat ngurus anak ini, jadi saya mohon sama bpak supaya mau menerima anak ini setidaknya sampai orang tuanya di ketahui,” jelas ketua RT itu.
“Aaaaaaaaa lepasin-lepasin, kalian semua jahat. Lepasin! Safa mau pergi dari sini!” teriaknya sambil mencoba melepaskan pegangan Pak Rahman, tetapi kekuatan gadis kecil itu tak sebanding dengan kekuatan yang diberikan Pak Rahman.
“Baik Pak, kami akan mencoba untuk mengurus Dik Safa ini. Tapi sebelumnya, bapak dimohon untuk mengisi formulir kedatangan Dik Safa ini,” kata Pak Solihin. Aku pun segera duduk di sebelah Safa dan menggantikan pegangan Pak Rahman sementara Pak  Rahman dan Pak Solihin mengisi formulir untuk Safa. Aku memegangnya dengan sekuat tenaga, tapi anak itu mencoba memberontak dan menggigit tanganku. Tanganku terlepas dari tangannya, dia pun dengan cekatan berlari menuju luar panti. Aku pun segera berteriak kepada satpam panti, “Pak Hadi, itu tolong tutup gerbang, Safa mau kabur.”
Aku pun segera menangkap Safa dibantu Pak Hadi. Dia berdiri ketakutan di pojok pagar dan mencoba untuk memanjat pagar, tetapi rencananya berhasil digagalkan oleh Pak Hadi yang sigap menahan Safa. Aku segera memegang tangan Safa dengan kuat, lebih kuat dari peganganku tadi, dan membawanya ke dalam panti asuhan. Di ruang tamu Safa masih memberontak. Pak Rahman pun berpamitan pulang, pada saat itu juga anak-anak panti lain baru pulang dari sekolah dan dikagetkan oleh teriakan-teriakan Safa. Semua anak melihat kejadian ini dengan terheran-heran. Belum pernah aku melihat anak sekecil ini memberontak begitu dahsyatnya. Dia melempar bantal, buku, dan vas bunga yang terletak di atas meja. semua menjadi ricuh bak kapal pecah. Pak Solihin pun menyuruh salah satu anak panti yang baru pulang untuk memanggil Santi dan Karin.
“Safa sini sayang, letakin semua barang-barang itu,” kataku mencoba menenangkan.
“Ga, ga bakal! Safa tau kalian jahat, kalian mau nyiksa Safa kan? Safa ga akan ketipu lagi sama orang-orang kayak kalian!” jawabnya jelas penuh amarah dan dendam.
“Engga Safa, sini yuk sama teteh. Disini kamu bakal baik-baik aja. Kita bakal main-main disini, ga ada yang perlu ditakutin disini,” kataku sambil mengulurkan tangan mencoba untuk membujuknya sekaligus menangkapnya. Dan berhasil. Dia kini berada di dalam dekapanku dan terus mencoba melawan tenagaku.
Dia begitu kotor dan tak terawat. Rambutnya sedikit gimbal dan berbau tidak sedap seperti sudah berhari-hari tidak mandi. Aku mencoba mengabaikan semua hal mengganggu itu. Tiba-tiba Safa kembali terlepas dari dekapanku dan berteriak begitu kerasnya layaknya orang kesakitan. Aku kaget dengan teriakannya kali ini, aku tidak menyakitinya sedikitpun. Tetapi, untung saja Safa berhasil di tangkap oleh Santi dan Karin. Safa pun di bawa ke kamarnya, dia tidur di kamar seorang diri karena ditakutkan akan mengganggu orang lain. Aku mengikutinya dari belakang. Di kamar, Santi mencoba membujuknya untuk mandi, tetapi Safa kembali memberontak. Dia berlari ke pojok kamar dan hanya duduk memeluk kedua lututnya. Santi pun berpikir untuk membiarkannya sendiri dahulu untuk membiasakan dirinya.
Waktu makan malam telah tiba. Sejauh ini tak terdengar teriakan dari Safa. Karin mencoba mengajaknya bergabung bersama kami untuk makan malam. Kembali terdengar teriakan Safa dan anak-anak panti yang lain menjadi sibuk membicarakan Safa. “Mungkin Karin membutuhkan bantuan,” pikirku. Aku segera berlari menuju kamar Safa dan melihat Karin sedang memegang tangan Safa dan membujuknya untuk keluar kamar. Aku membantunya menarik tangan Safa dan akhirnya berhasil kami bawa menuju ruang makan. Tiba-tiba terlontar cemoohan dari salah seorang anak panti yang keluar tanpa kuduga. “Heh anak aneh! Ngapain kamu disini? Kamu tuh cuma buat kerusuhan! Kamu mau caper ya?”
“Restu, ga boleh ngomong gitu! Safa sama seperti kita, ga ada yang beda diantara kita!” kataku segera.
“Tapi dia jelas beda, Teh. Dia mungkin aja kan ngelukain salah satu dari kita ataupun lebih,”
”Restu, cukup. Lebih baik kamu diam sekarang, sebelum Teteh kasih hukuman yang lebih berat. Minggu ini kamu yang ngebersihin toilet putri,” jawabku tegas. Restu pun langsung terdiam membaca situasi ini. Anehnya, Safa tidak marah dengan cemoohan ini. Dia hanya mengambil makan malamnya dan membawanya ke kamar. Dan dia menghabiskan malam ini dengan berdiam diri di kamar. Aku merasa bingung dengan sifat anak yang satu ini. Aku semakin bingung, apa yang terjadi pada anak ini?
Di kamar aku terus memikirkan Safa. Aku merasa dia bukan seorang pemberontak. Dia hanyalah gadis biasa yang mengalami gangguan kecil. Tapi apa gangguan itu? Sifatnya sangat aneh. Aku heran, kenapa dia tidak terpancing emosi sama sekali dengan cemoohan Restu? Kejadian itulah yang membuat hal ini menjadi janggal. Pikiranku terus melompat-lompat dari satu alasan ke alasan lain, dan tiba-tiba pikiranku terpotong oleh telepon masuk di handphoneku dan aku pun kembali terjatuh ke dunia nyata terduduk di kasurku.
“Halo, mas,” sapaku. Dia adalah Mas Andri.
“Halo Rina. Gimana kabar kamu?”
“Baik-baik aja mas, cuman aku ngerasa sedikit cape aja hari ini,” keluhku.
“Emang lagi ada masalah, Rin?”
“Tadi pagi ada gadis kecil dibawa oleh Pak RT ke sini. Sifatnya aneh, mas. Dia ngebuat semua pengurus panti kewalahan dengan tingkahnya dia. Dia ngelemparin barang-barang yang ada di ruang tamu dan berusaha buat kabur. Terus penampilannya itu loh, mas, kelihatan kucel banget. Dia ga mau mandi ataupun ganti baju. Setiap ada yang megang dia, dia pasti teriak-teriak kayak anak liar. Tapi anehnya dia ga marah sama sekali pas Restu ngejek dia. Aku jadi merasa kalau ada sesuatu yang pengurus panti ga tahu mengenai anak ini,” kataku antusias.
“Rin, udahlah, kamu keluar aja dari panti asuhan itu. Kamu juga ngerasa cape banget kan kerja disitu?  Udah kamu kan bisa kerja di toko aku aja,” pintanya dengan lembut.
“Engga mas aku belum bisa ninggalin mereka semua. Aku masih ngerasa berat hati aja buat ninggalin mereka,”
“Udanlah Rin, nanti  juga bakal ada yang gantiin kamu kan. Mamaku udah nanyain kapan kita menikah, ya kamu tahu kan mama sekarang lagi sakit dan aku anak satu-satunya mama. Kamu mau ngebuat mamaku kecewa? Lagi pula keluarga kita udah setuju dengan hubungan kita kan Rin, urusan pernikahan biar aku yang ngurus. Aku akan datang ke rumahmu bersama keluargaku dan membicarakan rencana menikah kita,” jawabnya. Huuuuuh aku tidak suka keadaan dilema seperti ini. Aku bingung harus berkata apa kepadanya. Dan aku pun hanya dapat terdiam selama sesaat.
“Aku ga bakal ngelarang kamu buat main ke panti kalau kita udah nikah nanti. Kamu boleh ngunjungin mereka tapi ga setiap saat. Ayolah, kita pacaran udah cukup lama, kehidupanku pun sudah mapan dan kita udah siap menuju ke sana, kan? Atau kamu ga mau  menikah sama aku?” jelasnya lagi.
“Bukan gitu mas, aku masih ngerasa ga enak aja buat ninggalin panti asuhan ini. Anak-anak itu membuat ku ngerasa berat untuk ninggalin ini semua,” jelasku singkat.
“Rina, aku kan udah bilang, kamu boleh mengunjungi mereka nanti. Kamu ga kasian sama mama? Dia udah sering dirawat di rumah sakit, ditambah lagi dia jadi banyak pikiran sekarang,”
“Aku sayang mas sama mama kamu. Aku juga ingin menikah sama kamu. Tapi ada beberapa hal yang masih belum bisa aku tinggalin, terutama setelah Safa datang. Aku ngerasa kalau ini masih menjadi tanggung jawabku sebagai pengurus panti. Mas kasih aku waktu dulu,” jelasku berharap Mas Andri bisa mengerti keadaanku sekarang,
“Udah berulang kali Rin, kamu ngomong gini sama aku. Tapi ya udah aku akan nungguin kamu seengganya sampai kondisi Safa membaik,” jawabnya sabar.
“Iya mas, setelah Safa bisa beradaptasi dengan kondisi di panti asuhan aku bakal nurutin apa yang kamu mau. Please sabar sekali lagi aja buat nungguin akunya siap buat ninggalin panti asuhan ini,” pintaku.
“Iya aku bakal nungguin kamu. O iya kamu udah mau tidur?”
“Iya nih mas, hari ini cape banget. Ya udah aku tidur duluan ya mas,”
“Iya aku ngerti, ya udah sok tidur duluan. Aku masih harus buat laporan keuangan dulu. Malam Rina, jaga kesehatan ya, jangan lupa makan,” katanya penuh perhatian.
“Iya mas, makasi ya. Kamu juga jaga kesehatan jangan sering begadang. Ya udah, dadah,” kataku sambil menutup telepon. Malam itu ku habiskan dengan tidur nyenyak di dalam selimut hangatku, selama beberapa jam ini aku akan merasa tenang dan kembali ke dunia nyata keesokan harinya.
Ayam jago berkokok lebih cepat hari ini. Aku terbangun sebelum suara adzan subuh berkumandang. Setelah adzan subuh terdengar, aku membangunkan anak-anak termasuk Safa. Pada saat aku masuk ke kamarnya Safa, aku melihat Safa sedang duduk di atas kasurnya.
“Safa ayo sholat dulu bareng yang lain,” ajakku.
“Engga, aku ga mau!” bentaknya. Aku tak bisa memaksakan kehendakku padanya. Jadi kuputuskan untuk membiarkannya.
Setelah semua anak-anak berangkat sekolah, aku berniat untuk mengajak Safa melakukan kegiatan seperti anak-anak kecil lain yang belum bersekolah. Seperti biasa, aku membutuhkan energi lebih untuk mengajaknya bergabung. Dia masih tidak mau mandi, jadi aku langsung merangkul dan sedikit menyeretnya menuju ruang bermain. Aku menyerahkan Safa kepada Karin dan Santi untuk belajar bersama yang lain. Materi kali ini yaitu membuat boneka kecil dari kain flanel. Anak-anak yang lain melihat penuh curiga ke arah Safa, tapi untunglah hal itu tidak berjalan lama. Aku pergi mengerjakan tugasku yang lainnya. Tetapi beberapa menit setelah aku keluar, tiba-tiba Safa berlari keluar menuju taman belakang diikutin oleh Santi.
“Teh Rina, aku ga kuat ngajarin anak itu,” keluhnya setelah melihatku.
“Emang dia berbuat apa lagi, Santi?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya.
“Aku tadi ngajarin dia nyetak pola di kain flanel dan dia malah ngelempar pensilnya sambil berteriak. Ya udah aku ngambil pensil itu dan mencetak polanya di kain. Nah pas aku membantunya buat menggunting, dia ngelempar guntingnya dan lari keluar. Aku cape Teh sama sikapnya dia,” jawabnya dengan nafas yang masih belum beraturan.
“Yang sabar aja ya San, dia memang membutuhkan perhatian kita lebih.  Ya udah biar aku yang ngurus Safa, kamu balik lagi aja ya,” kataku sambil berjalan menuju taman belakang.
Di taman belakang aku melihat Safa sedang duduk di atas ayunan. Aku pun menghampirinya dan mengajaknya berbicara. Tetapi, usahaku sia-sia. Dia tidak menghiraukanku dan menganggapku tidak ada. Aku pun kembali mengajaknya untuk kembali ke ruang bermain, dia kembali tak menghiraukanku. Terpaksa aku memaksanya kembali masuk ke ruang bermain dan mendudukkannya di kursinya, walaupun dengan sedikit teriakan dari mulut Safa. Aku memegang tangannya dan membantunya menggunting kain flanel tersebut, dia berteriak sekeras-kerasnya seperti orang yang kesakitan. Tapi kuhiraukan itu semua seperti ia menghiraukanku tadi. Kain itu sekarang seudah berbentuk pola-pola berbentuk kepala beruang. Aku membantunya kembali menjahit boneka itu, tetapi hal yang tak kuduga terjadi. Dia melepaskan tangannya dariku dan menggoreskan jarum yang ada di tangannya ke tanganku. Seketika darahku pun menetes memberi corak merah pada meja dan lantai. Dia berteriak dan berlari menuju kamarnya. Karin pun langsung berlari ke arahku dan membantuku mengobati lukaku. Anak-anak yang berada di ruangan itu pun kaget sejadi-jadinya. Ada yang menangis, teriak, dan seperti biasa Denis langsung memeluk erat pinggang Santi. Aku pun di bawa ke luar ruangan bersama Karin dan Santi mencoba menenangkan suasana di ruangan itu dan kembali mengajarkan cara membuat boneka beruang.
“Teteh, sepertinya anak itu mengalami gangguan jiwa. Mungkin lebih baik dia dibawa ke rumah sakit aja,” sarannya ketika dia membantu membalut lukaku.
“Kamu kenapa Rin?” tanya Pak Solihin yang tiba-tiba muncul.
“Itu pak, anak itu berontak lagi. Dia ngebuat keadaan di panti asuhan ini jadi ga kondusif. Sampai-sampai tangan Teh Rona luka terkena jarum oleh anak itu. Mungkin pak anak itu mengalami gangguan jiwa dan lebih baik dia di bawa ke rumah sakit,” jelas Karin.
“Engga,” kataku segera. “Aku merasa ada yang salah padda diri anak itu, tapi bukan kejiwaannya,” tambahku.
“Teteh ga liat apa yang udah anak itu lakuin ke Teteh? Dia jelas-jelas udah ngebuat kekacauan apalagi sampai ngebuat Teteh luka,” katanya penuh amarah.
“Engga, aku ga papa. Pak, izinkan saya pak untuk mencoba merubah sikapnya dia,” pintaku pada Pak Solihin.
“Eeem baiklah, saya sangat berharap kepada kamu Rina. Kalau rencana kamu ini tidak berhasil, mau tidak mau anak ini harus dibawa ke rumah sakit, walaupun saya sendiri tidak tega. Ya sudah, saya mau pergi dulu ke dinas sosial, kalau ada apa-apa segera hubungi saya,” . Pak Solihin pun pergi meninggalkan kami berdua. Dan Karin pun terus membujukku membatalkan niatku.
“Teteh mending pikir-pikir lagi deh. Ini tuh bisa aja ngebahayain diri Teteh,” katanya khawatir.
“Tenang aja Karin, ini semua bakal baik-baik aja ko. Aku sudah memikirkan hal ini dan aku berpikir ini hal terbaik,” jelasku.
“Ya sudah terserah Teteh aja. Aku mau balik lagi ya ngebantui Teh Santi,” katanya menyerah. Aku pun hanya membalasnya dengan senyuman. Aku berpikir apa yang harus aku lakukan, dan aku memutuskan untuk membiarkannya sendiri dahulu.
Pada saat waktu makan siang, aku membawakan sepiring nasi untuk Safa dan mengantarkannya. Aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya dan melupakan kejadian tadi pagi.
“Safa, ini Teh Rina. Teteh bawa makanan untuk kamu,” kataku sambil membuka pintu kamarnya.
“Udah, taruh aja di situ! Safa mau makan sendiri!” katanya dengan suara tinggi.
“Bener nih ga mau di temenin sama Teteh?” kataku berusaha tetap tenang.
“Iya! Udah cepet keluar!” bentaknya. Aku pun tak berani berkata apa-apa lagi dan beranjak keluar setelah menaruh makanannya di meja.
Selama hari itu, Safa kembali tidak mau keluar kamar. Makan malamnya pun kembali aku antarkan ke kamarnya. Seluruh anak di panti asuhan sibuk membicarakan Safa secara diam-diam. Aku malas menegur mereka karena kondisi fisikku yang sudah cukup lelah ditambah dengan menahan sakit di tanganku akibat kecelakaan pagi ini.
Seperti biasa, sebelum tidur Mas Andri meneleponku. Dan aku pun menceritakan semua yang terjadi pagi ini kepadanya.
“Tuh kan, udah deh kamu keluar aja! Lihat kan, itu tuh ngebahayain diri kamu. Udah biar orang yang berpengalama aja yang ngurusin anak itu!” katanya penuh dengan rasa khawatir.
“Tapi mas, tetep aja aku ga bisa ninggalin dia. Aku udah janji mau ngebantu dia,” jawabku.
“Kamu tuh emang susah ya buat dibilangin. Itu tuh ngebahayain diri kamu, Rina. Udah nurut aja sama aku.”
“Engga bisa mas, mas tolong hargain keputusan aku. Anak itu ga salah, tapi kita yang salah. Kita yang ga bisa ngertiin dia. Mas tolong dukung aku, jangan makin ngedesak aku” pintaku padanya.
“Iya Rin, maafin aku. Tapi aku khawatir sama kamu,” katanya jelas dengan nada yang sangat khawatir.
“Aku bakal baik-baik aja mas. Ya udah aku mau tidur ya,”
“Iya ya udah. Malam Rina, baik-baik ya disana. Jangan lupa kabarin aku,” pintanya.
“Iya mas,” kataku sambil menyudahi pembicaraan ini dan segera memejamkan mata menyambut mimpi-mimpi yang sudah menghampiriku.
Keesokan paginya, aku terbangun kan oleh alarm setiaku. Aku pun mengumpulan energi yang sangat aku butuhkan hari ini dan melakukan kegiatanku seperti biasa. Safa tidak mau keluar kamar sama sekali selama hari ini kecuali untuk buang air. Hari ini terasa sangat sepi tanpa teriakan-teriakan darinya. Aku mengantarkan setiap makanannya ke kamarnya. “Mungkin dia masih marah”, pikirku. Jadi aku membiarkan dia tetap berada di kamarnya selama seharian ini. “Ya Allah apa yang terjadi padanya? Hamba tidak tahu harus berbuat apa?” tanyaku pada Tuhan. Aku mulai putus asa dan para pengasuh panti lainnya pun banyak yang mulai meragukan rencanaku ini. Tetapi aku tetap pada niat awalku.
Aku mencoba menenangkan pikiranku. Hari ini Mas Andri tidak menghubungiku, dan aku pun merasa sangat mengantuk. Aku pun segera menggulung badanku di bawah selimut hangatku. Sesaat setelah aku memejamkan mata, aku mendengar suara teriakan-teriakan yang kuduga berasal dari kamar Safa. Aku berlari ke luar kamar dan bertemu dengan pengurus panti yang lainnya.
“Sudah biar aku yang mengecek keadaan Safa,” pintaku pada yang lain. Yang lain pun menyetujuinya, mungkin mereka pun merasa malas ikut campur dalam urusan Safa. Aku segera masuk ke kamar Safa. Safa masih berteriak-teriak dalam tidurnya dan terdengar beberapa kata keluar dari mulutnya.
“Mama maafin Safa, Safa ga salah apa-apa. Jangan pukulin Safa lagi,” katanya penuh ketakutan. Aku segera duduk di sampingnya dan mencoba membangunkannya.
“Safa, bangun sayang. Kamu cuma mimpi,” kataku sambil sedikit mengguncang badan kecilnya. Tak lama kemudian dia pun terbangun dan segera bergeser menjauhiku sambil memeluk badannya.
“Safa kamu kenapa sayang?” tanyaku khawatir.
“Pergi kamu, jangan ganggu Safa!”
“Teteh ga bakal ganggu kamu sayang. Kamu kenapa sayang?” kataku sangat khawatir. Akhirya Safa pun luluh dan dia memeluk tubuhku erat. Mungkin, akhirnya dia dapat membaca ketulusanku. Aku pun membalas pelukannya.
“Teh Rina, jangan peluk terlalu keras,” pintanya. Itulah kalimat manis pertama yang kudengar darinya. Dan kali ini dia memanggilku dengan sopan.
“Memang kenapa sayang?” kataku sambil melonggarkan pelukanku. Dia hanya terdiam tak mau bicara. “Safa sayang, cerita aja sama teteh. Teteh ga bakal ngejahatin kamu, Teteh janji,” kataku sambil mengelus rambutnya. Kini aroma rambutnya semakin tercium menusuk hidungku. Dia pun melepaskan pelukannya dan membuka baju yang selama ini dia pakai. Dan aku pun begitu kaget melihat apa yang kedua mataku saksikan. Aku hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka dan mata berkaca-kaca. Kulitnya dipenuhi oleh luka-luka lebam dan terdapat banyak bekas luka yang sudah mengering. Dan setelah aku amati lebih dekat, ternyata di tangannya pun ada bekas luka melepuh. “Ya Allah apa yang menimpa anak ini?” tanyaku di dalam hati. Luka di tanganku tak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka yang ada di tubuh Safa. Aku sekarang mengerti mengapa dia sering memberontak ketika aku memegangnya atau pun menyuruhnya mandi. Dan aku pun tahu mengapa dia memakai baju panjang dan celana panjang. Dia menahan rasa sakit yang harus dia tahan dengan tubuh kecilnya itu. Tak kusangka tubuhnya mampu menahan beban yang begitu besar yang mungkin tak dapat ku tanggung sendirian. Aku pun memberanikan diri menanyakan apa yang menjadi kabut hitam di dalam benakku.
“Safa, apa yang terjadi?” kataku perlahan.
“Mamaku sering marahin aku kalau aku nakal. Padahal aku ga nakal. Aku disuruh ngamen setiap harinya dan kalau uang aku dikit mama aku pasti marahin aku. Waktu itu juga aku pernah di tuduh nyuri ikan goreng punya mama, padahal yang makan ikan gorengnya ayah aku. Aku langsung dipukulin pake balok kayu yang ada di rumah atau pake coet. Pernah juga mama sengaja nyiram air panas ke tangan aku, makanya tangan aku sering banget sakit.  Ayahku seorang pengangguran, kerjaannya keluyuran malem-malem. Aku sering lihat ayah lagi judi atau sama wanita lain. Mama nyalahin itu semua ke aku, aku dibilang anak sial. Soalnya dulu kehidupan mereka baik-baik aja, tapi setelah aku lahir kehidupan mereka jadi miskin. Mama kerjaannya cuma di rumah atau engga pergi ke rumah tetangga, aku ga dibolehin main kayak anak-anak lainnya. Aku sekolah cuma sampai TK dan sebenernya aku ingin ngelanjutin sekolahku, tapi mama bilang itu percuma karena aku pasti akan kerja di rumah aja. Tanganku juga pernah dikenain sama setrika panas gara-gara baju mama bolong pas aku setrika. Aku ngantuk banget jadi aku ketiduran. Aku akhirnya kabur gara-gara ga kuat diginiin terus sama mama. Terus ayahku juga pernah minta ditemenin tidur, terus pas bangunnya aku ngerasa badan aku sakit-sakit terutama di bagian itu. Aku ga tau apa yang terjadi sama...,” jelasnya panjang. Aku pun langsung memeluknya dengan perlahan dan menghentikan ceritanya. Aku tidak kuat mendengar cerita miris ini. Dia masih terlalu kecil dan polos untuk mengalami semua penyiksaan itu. Betapa kejam manusia-manusia itu.
Aku membelai rambutnya dan menghiraukan segala aroma yang menusuk-nusuk rongga hidungku. Aku meneteskan air mataku di rambutnya. Aku bisa merasakan tangan-tangan kecil yang ada di punggungku. Kini, nafasnya begitu tenang dan teratur. Dia menjadi begitu manis sekarang.
“Teteh, maafin sikap aku kemaren-kemaren ya. Aku udah ngebuat Teteh luka. Aku ga kuat, soalnya tangan aku sakit pas dipegang sama Teteh. Aku janji ga bakal ngelakuin itu lagi sama aku bakalan ngerubah sikap aku,” katanya lembut di dalam pelukanku.
“Iya Safa, ga papa ko. Teteh ngerti sekarang kenapa Safa ngelakuin itu,” kataku sambil mengelus-elus kepalanya. Diapun semakin erat memelukku. Dan malam ini pun aku menemaninya tidur di kamarnya dengan dongengan sebelum tidur. Dia sangat antusias mendengarkan ceritaku, mungkin ini dongeng pertama yang dia dengar sebelum tidur. Tak lama kemudian, dia pun terlelap dalam dekapanku sepanjang malam ini.
Sang ayam jago berkokok dengan kerasnya. Membuyarkan mimpi-mimpi yang telah aku rajut. Tak lama kemudian adzan subuh kembali terdengar menyusul kokokkan ayam tadi. Aku segera bangun dan beranjak untuk membangunkan anak-anak yang lain. Tetapi, Safa pun ikut terbangun, “Teh Rina mau sholat ya?” tanyanya.
“Iya, Teteh mau ngebangunin yang lain juga,” jawabku setengah sadar.
“Safa juga mau ikut sholat ya?” tanyanya dengan muka ceria.
“Hah?” kataku kaget. Kata-kata itu membuatku kembali ke dunia nyata sepenuhnya. Aku pun langsung berkata, “Iya sayang, boleh ko.” Dia pun tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang masih kecil.
Aku mengambil mukena untuk Safa dan mengajaknya untuk sholat berjamaah. Kini aku hanya perlu menggandeng tangannya dan dia sudah ikut di samping ku. Semua orang di panti merasa kaget dengan kondisi Safa sekarang. Para pengurus panti tersenyum ramah kepada Safa. Tetapi tiba-tiba, ada seorang anak panti yang menanyakan hal yang seharusnya tidak dia tanyakan, “Teteh dia kan bau, emang dia boleh ikut sholat ya?”
“Hanya Allah yang berhak menilai sholat seseorang, sayang,” jawabku singkat. Safa pun hanya tersenyum mendengar perkataan itu.
Setelah Safa menghabiskan sarapannya bersama anak-anak yang lain, Safa berlari kearahku dan berbisik kepadaku dengan senyum lebar di wajahnya, “Teteh aku ingin mandi.” Aku pun menyambut hal itu dengan gembira. Aku tidak memberi tahu siapa pun mengenai hal ini, dan membiarkan hal ini menjadi sebuah kejutan. Aku mengambilkan baju yang kurasa cocok untuknya dan memandikannya. Kini aroma tak sedap dari tubuhnya telah menghilang dan tergantikan oleh wangi yang sangat segar. Aku menyisir rambut panjangnya dan mengikatnya menjadi ekor kuda di kepalanya sedikit ke bagian atas. Aku merapikan poninya dan memberi hiasan pita di ikat rambutnya.
Aku sangat kagum dengan hasil kerjaku sendiri. Kini dia tel berubah menjadi gadis yang sangat manit. Kulit sawo matangnya di balut oleh dress selutut berwana biru muda membuatnya menjadi begitu segar. Luka-lukanya pun tersamarkan oleh kecantikannya itu. Aku mengajaknya untuk beraktifitas seperti anak-anak lainnya. Dia sangat antusias mendengar ajakanku. Dengan sedikit rasa canggung dia mengajakku ke ruang bermain. Dia duduk dengan sangat anggun di kursinya dan tersenyum kepada semua orang yang ada di sana. Aku merasa terharu dengan semua ini, rasanya air mataku ingin keluar terbawa suasana.
Karin menghampiri Safa dan memberikan bahan-bahan untuk membuat tas kecil. Safa mengikuti semua instruksinya dengan baik. Karin pun menghampiriku dan berkata dengan sangat antusias, “Teh Rina, ko dia bisa jadi seanggun dan semanis ini?”
“Aku tak mengubahnya, inilah sifat dan keadaannya yang asli,” jawabku singkat dengan penuh percaya diri. Karin pun menepuk pundakku sambil tersenyum dan kembali mengajar anak-anak itu.
Safa mengikuti semua kegiatan yang ada di panti asuhan itu dan berhasil membangun pertemanan dengan anak-anak lainnya dengan sangat cepat. Kini anak-anak lainnya pun senang dengan kehadiran Safa. Mereka bermain layaknya teman lama. Aku pun menceritakan apa yang terjadi pada Safa kepada pengurus-pengurus panti dan juga Mas Andri.
Keesokan harinya, di sore hari yang dihiasi oleh sinar berwarna merah ke kuningan, aku melihat Safa sedang sendirian bermain ayunan, dan aku pun menghampirinya.
“Safa ko sendirian?” tanyaku.
“Eeem ga papa. Emang ingin sediri aja. Teteh aku ingin sekolah lagi seperti yang lainnya. Aku juga udah bisa baca sama nulis. Pas aku lagi ngamen dulu aku suka ngebaca-baca brosur atau nulis-nulis sesuatu di kertas kosong. Terus aku juga udah bisa ngitung, buktinya aku tahu berapa jumlah uang yang aku dapet tiap harinya,”
“Oke oke nanti kita bilang ke Pak Solihin. O iya kebetulah Pak Solihin ada di ruangannya, gimana kalau kita ke sana sekarang?” tanyaku.
“Ayo ayo Teh sekarang aja,” ajaknya antusias. Kami berdua berjalan menuju ruangan Pak Solihin. Beliau menyambut kita dengan hangat dan mempersilakan kita untuk duduk. Aku menceritakan semuanya kepada Pak Solihin termasuk kemampuan yang Safa miliki.
“Pak, Safa ingin melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda. Bagaimana pak?” tanyaku.
“Ya coba kita tes dulu kemampuan Safa. Safa gimana kamu siap kalau Bapak tes kamu sekarang?”
“Siap pak, aku siap di tes baca, nulis dan berhitung,” jawab Safa yakin. Pak Solihin pun mengambil secarik kertas dan mulai menguji kemampuan Safa. Safa sangat serius  mengerjakan semua tes yang diberikan kepadanya.
“Saya rasa, Safa sudah siap masuk SD di tahun ajaran baru bulan depan,” kata Pak Solihin mantap.
“Aaaaaa aku seneng, akhirnya aku bisa sekolah lagi,” jawab Safa antusias. Dia langsung memeluk tubuhku dan berkata, “Makasi banyak ya Teh Rina. Teteh udah Safa anggep sebagai mama Safa sendiri, Teteh jangan ninggalin Safa ya.” Aku tidak bisa menjawab apa pun dan hanya bisa tersenyum. Hal inilah yang membuatku semakin berat meninggalkan pasnti asuhan ini. Kemudian Safa pun berlari ke luar ruangan dan menuju teman-temannya.
“Rin, saya berterimakasi sekali dengan bantuan kamu. Berkat kamu Safa bisa jadi seceria ini,” kata Pak Solihin dengan muka penuh kebanggaan.
“Iya pak, saya juga senang melihatdia seperti ini. Pak, saya permisi keluar pak, masih ada pekerjaan yang saya harus kerjakan. Permisi pak,” jawabku. Aku pun segera keluar dari ruangan itu dan membantu pekerjaan Bi Rohmah.
Malam harinya, aku terus memikirkan perkataan Safa di ruang Pak Solihin. Aku semakin berat meninggalkan panti asuhan ini. Aku pun memutuskan untuk menelfon Mas Andri,
“Halo Mas,” sapaku.
“Iya, ada apa Rin?”
“Mas, aku mau cerita. Sekarang kondisi Safa udah baik-baik aja. Dia udah bisa beradaptasi sama lingkungan panti. Dia juga udah punya banyak teman dan bentar lagi dia masuk SD. Tapi aku makin ngerasa ga enak Mas buat ninggalin dia. Dia udah nganggep aku sebagai mamanya, dan dia bilang kalau aku jangan ninggalin dia. Aku bingung Mas,” kataku gundah.
“Aku sih terserah kamu, Rin. Aku bakal nungguin kamu, tapi please jangan sampe aku nunggu terlalu lama. Aku sayang sama kamu, dan aku terus khawatir sama kondisi mama aku,” jawabnya tenang.
“Iya Mas, aku berencana untuk memberitahu kalau aku tidak akan bekerja di panti lagi pas dia udah masuk sekolah. Gimana Mas menurut kamu?”
“Ya menurutku dia sudah siap pada saat itu,” jawabnya yakin.
“Oke deh, aku akan memberitahukannya nanti. Mas, aku udah ngantuk nih aku tidur ya?”
“Iya Rin, sok tidur. O iya selamat ya atas keberhasilan kamu,”
“Iya Mas, makasi ya. Ya udah aku mau tidur, dadah,” kataku sambil menutup telepon. Hatiku merasa tenang setelah menelpon Mas Andri dan memastikannya tidak apa-apa. Selimutku telah mengajakku untuk kembali merajut mimpi-mimpi yang tadi pagi terputus.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dua bulan kemudian, Safa telah mulai bersekolah di sekolah barunya. Dia sangat menikmati masa kanak-kanaknya sekarang. Setelah Safa pulang sekolah, aku mengajaknya untuk mengobrol di taman belakang. Aku dan dia duduk di atas ayunan dan mengayunkannya secara bersama-sama. Beberapa hari sebelumnya, aku telah meminta saran dari Bi Rohmah, Karin, Santi dan Pak Solihin, dan mereka semua sependapat bahwa aku harus mengatakan kepada Safa yang sebenarnya akan terjadi. Setelah dia merasa lelah dan berhenti mengayunkan, aku kembali mengumpulkan keberanianku untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Safa, kamu mau tau ga?” tanyaku perlahan.
“Tentang apa?” tanyanya penasaran. Aku pun terdiam sejenak sebelum melanjutkan percakapan ini.
“Iya, jadi gini Teteh bentar lagi mau menikah,” kataku dengan senyum yang sedikit ku paksakan.
“O iya? Wah sama siapa Teh? Tapi Teteh tetep tinggal di sini kan?” tanyanya lagi dengan mata berbinar yang antusias. Aku kembali terdiam sebelum berani mengucapkan kata-kata selanjutnya.
“Engga,besok lusa Teteh udah ga tinggal lagi di sini, tapi Teteh bakalan sering main ke sini ko. Lagipula di sini kan juga banyak orang yang sayang sama Safa,” kataku mencoba meyakinkan. Dia pun langsung terdiam menatapku. Matanya sudah mulai berkaca-kaca menanggapi  apa yang aku katakan tadi. Dia pun langsung berlari ke kamarnya. Selama sejenak aku tak tahu harus melakukan apa. Setelah aku berhasil menenangkan diriku sendiri, aku pergi menuju kamarnya dan ternyata dia mengunci kamarnya. Aku pun mengetuk pintunya dan mencoba berbicara kepadanya.
“Safa, maafin Teteh. Tenang aja ko Teteh bakalan sering main ke sini,” jelasku.
“Udah pergi kamu dari sini! Ternyata kamu juga jahat sama Safa! Pergi!” katanya dengan isakan tangis. Aku pun pergi meninggalkannya berharap ia menjadi lebih baik. Selama seharian ini, Safa tidak mau keluar kamar dan tidak mau bertemu denganku. Dia menolakku walaupun aku hanya mau mengantarkan makan malamnya, sehingga, aku menyuruh Santi untuk mengantarkannya.
Di kamar aku menangis memikirkan Safa. Tak lama kemudia Mas Andri menelponku.
“Halo Rina,” kali ini dia yang menyapaku terlebih dahulu.
“Iya Mas,” kataku masih sambil menangis.
“Loh kamu nangis? Kenapa Ran?”
“Iya aku tadi udah ngasih tau ke Safa tentang pernikahan kita, dan dia belum bisa nerima ini semua Mas, dia marah sama aku, dia ngunci dirinya di kamar dan ga mau ketemu aku. Aku ga tau harus ngapain, Mas?” jelasku dengan isakan tangis yang mengiringinya.
“Ya udah Rin, kamu sekarang tenangin dulu diri kamu terus kamu langsung tidur aja ya. Pasti bakal ada jalan yang terbaik ko buat kita semua,” katanya menenangkan pikiranku.
“Iya Mas, makasi ya, maaf ngebuat kamu jadi ikut ga tenang juga,”
“Udah, Rin ga usah dipikirin. Sekarang kamu yang tenang dulu aja ya. Malam Rina,” jawabnya. Aku pun menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan sampai aku merasa tenang. Pikiranku melayang memikirkan ini semua, tetapi lama-kelamaan aku terlelap dalam tidurku.
Keesokan harinya, aku semakin sedih, karena Safa tidak mau mencium tanganku seperti hari-hari biasanya. Aku menceritakan apa yang terjadi kepada Santi dan Karin.
“Udah Teh ga papa, emang cepat atau lambat dia juga harus tau kan? Mungkin ini cuma emosinya dia aja ko,” kata Santi mencoba menenangkanku.
“Iya Teh bener, kalau Safa tetep bersikap gini ke Teh Rina nanti biar aku bantu jelasin ya ke dianya,” timpal Karin.
“Iya aku berharapnya juga gitu, tapi aku takut kalau dia marah terus sama aku. Aku tuh ngerasa kayak aku ngehancurin harapan sama kebahagiaannya dia,”
“Engga ko Teh, Teteh udah membuat dia bahagia dengan berhasil merubah sifatnya dia jadi lebih baik,” ucap Karin kembali menenangkanku.
“Iya, semoga dia ga terus-terusan gini ya sama aku. Apalagi aku besok udah pergi dari sini, tapi aku bakal sering main ke sini. Ya udah balik kerja yu, aku mau ngebantuin Bi Rohmah nyetrikain baju anak-anak,” kataku mengakhiri percakapan ini.
“Yang sabar aja ya Teh,” timpal Santi. Kami semua pun kembali ke pekerjaan kita masing-masing.
Aku tidak melihat Safa sama sekali dan juga aku tidak melihatnya masuk ke dalam rumah. Aku berpikir mungkin dia masih marah. Malam harinya pun aku tak melihat Safa sama sekali, dia kembali mengunci dirinya dalam kamar. Perasaanku sedih sekali melihat hal ini.
Malam harinya, aku membereskan semua barangku kedalam tas. Aku memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Aku masih merasa sedih. Tapi, mau bagaimana lagi aku harus meninggalkan panti asuhan ini dan menyusun kehidupanku. Tiba-tiba  ada seseorang mengetuk pintu. Aku mempersilakannya untuk masuh. Dan ternyata seseorang itu adalah Safa. Dia datang dengan senyuman di wajahnya. Aku merasa sangat bahagia bisa melihatnya lagi. Kemudian dia segera masuk dan duduk disebelahku.
“Teteh maafin Safa ya. Safa seneng ko kalau Teteh bentar lagi mau menikah, kemarin Safa cuma kaget aja ngedengernya,” jelasnya.
“Iya Safa ga papa ko, Teteh ngerti. Yang penting Safa udah ga marah lagi kan sama Teteh? Teteh janji bakalan sering main kesini ko,”
“Bener ya Teh janji bakalan sering kesini,” tanyanya serius.
“Iya sayang Teteh janji,”
“Teteh, ini Safa ngebikin hadiah buat Teteh. Ini gambaran Safa sendiri loh, Safa ngegambarnya tadi pas pulang sekolah. Ini ceritanya ada Safa sama Teteh lagi gandengan berdua, terus di belakangnya banyak anak-anak panti asuhan sama pengurus pantinya juga. Teteh jangan lupa sama panti asuhan ini ya. O iya ini Safa kasih figura biar gambarannya ga rusak. Yang ngehias figranya juga aku sendiri loh,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Safa, makasi banyak ya, Teteh ga bakal lupa sama kamu dan semua yang ada di panti asuhan ini,” jawabku. Aku pun segera memeluknya. Hatiku begitu lega sekarang, seakan tak ada beban apapun lagi.
“Teteh boleh ga untuk terakhir kalinya, aku ingin tidur sama Teteh di kamar aku?” pintanya.
“Iya sayang, boleh ko,”
“O iya satu lagi, pas Teteh nikah undang kita semua ya,” katanya dengan senyum yang sangat manis dari bibirnya.
“Iya iya, janji ko janji. Udah ayo sekarang kita tidur,” kataku dengan penuh kepuasan. Aku merangkulnya sampai di kamar. Sebelum kami tidur, Safa memintaku untuk membacakan dongen sebelum tidur untuk yang terakhir kalinya. Aku mengikuti apa yang dia mau sampai-sampai kami berdua tertidur diiringi dentingan jam dinding.
Keesokan paginya, Mas Andri telah menjemputku. Aku berpamitan dengan seluruh warga panti asuhan. Aku memeluk Safa dan membisikkan sesuatu kepadanya, “Safa sayang, Teteh janji ko bakal sering kesini. Tapi teteh minta kamu jangan jadi nakal lagi ya yang rajin juga belajarnya. Teteh mau nanti pas Safa gede, Safa bisa ngewujudin cita-cita Safa ya.” Safa membalas itu semua dengan senyuman khasnya. Aku pun melepaskan pelukanku darinya dan melambaikan tangan kepada seluruh warga panti asuhan sampai aku mereka tak terlihat lagi dari dalam mobil yang Mas Andri setir.
Aku meneteskan air mata di dalam mobil. “Kamu kenapa Rin? Masih berat buat ninggalin panti?” tanya Mas Andri yang berada di sebelahku.
“Engga Mas bukan gitu, aku seneng banget akhirnya aku bisa nggeliat senyuman ceria dari Safa. Aku ga nyangka Safa bakalan berubah dan nerima ini semua. O iya makasi ya Mas, Mas udah mau sabar nungguin aku,”
“Iya sama-sama Rin, aku juga seneng ko.” Perjalanan ini aku rasakan begitu tenang dan damai. Dan aku siap untuk menjalani hari-hariku berikutnya bersama Mas Andri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebulan  kemudian, pernikahanku bersama Mas Andri dilaksanakan di salah satu gedung mewah di Bandung. Tak lupa aku mengundang para pengurus panti dan anak-anak panti asuhan, termasuk Safa. Safa tampak cantik sekali mengenakan gaun berwarna ungu yang aku kasih di hari ulang tahunnya dua minggu yang lalu. Aku ingin bisa melihatnya secantik dan sebahagia ini selama hidupku. Pesta kali ini berjalan lancar dan sesuai rencana. Semua tamu undangan terlihat sangat menikmati acara kami ini.
Hari-hari setelah pernikahanku aku rasakan begitu bahagia. Seakan semua masalah yang menerpa tak menjadi masalah yang berarti buat ku dan Mas Andri. Sudah lama aku tak mengunjungi panti asuhan, aku mengajak Mas Andri menemaniku ke panti asuhan.
Aku tak sabar sampai di panti asuhan. Aku kangen dengan suasana panti terutama Safa. Untunglah aku mendapatkan suami sebaik Mas andri yang mau mengerti aku.
“Mas makasi ya udah mau nemenin aku ke panti, aku ga mau ngecewain Safa lagi,” kataku.
“Iya sayang, aku seneng ko nemenin kamu. Aku ingin kita selamanya bisa bareng-bareng terus. Jadi kemana aja kamu pergi, selama aku bisa nemenin kamu, aku bakalan terus nemenin kamu,” jawabnya sambil memegang tanganku dan melihat ke arahku. Tiba-tiba, di perempatan jalan terdapat truk gandeng yang sedang dalam kecepatan tinggi dari arah sebelah kiri mobil kami. Duuuuuaaaaar! Mas Andri tidak dapat mengendalikan mobil dan tabrakan antara mobil kami dan truk itu tidak dapat dihindari.
Aku memanggil-manggil Mas Andri, tetapi tak ada jawaban. Aku mencari tangan Mas Andri dan memegangnya dengan kuat. Aku tidak merasakan denyutnya lagi. Aku takut, aku sudah mulai merasa badanku kaku. Aku berpikir apa inilah waktuku untuk berpulang. Air mataku menetes. Aku tidak dapat menepati janjiku pada Safa. Aku akan mengecewakannya lagi. Ya Allah sampaikanlah maafku kepada Safa. Aku telah mengecewakannya lagi Ya Allah, maafkan aku. Air mataku kembali mengalir untuk terakhir kalinya. Tapi aku sedikit tenang sekarang, aku tidak akan sendirian di surga, karena Mas Andri berjanji untuk selalu menemaniku dan kita akan selalu bersama, dan aku pun bisa tersenyum di tidur panjang yang abadi ini. Aku mendengar sirine ambulan di sisa-sisa hidupku yang singkat ini. Tapi lama-kelamaan, sirine itu terdengar semakin kecil di telingaku dan aku tahu, ini lah waktuku. Maafkan aku keluarga besarku, dan ”MAAFKAN AKU SAFA”.

TAMAT