Kamis, 19 Mei 2011

Oprasi Pelatuk Menyela


Aaaah sial! Aku terlambat lagi! Aku memacu motorku secepat yang aku bisa dan berharap tak terjebak lampu merah satupun. Aaah kenapa sih masih sepagi ini tapi Bandung sudah dipenuhi deretan mobil layaknya gerbong kereta api? Aku membayangkan diriku sebagai Valentino Rossi, menyalip diantara mobil-mobil dan menghindari kemungkinan tabrakan yang mungkin saja terjadi. Aku semakin menghayati peran yang sekarang aku bayangkan, dengan helm full face, jaket kulit hitam, dan motor ninja yang aku pakai. Aku seperti penguasa jalanan dan akan sampai di garis finish diurutan pertama. Tapi tiba-tiba, dunia nyata mejemputku kembali, dan aku menyadari ada seorang gadis kecil sedang menyebrang jalan dan beberapa detik lagi aku akan menabraknya. Aku segera mengingat materi fisika mengenai gaya sentripetal pada kendaraan yang akan berbelok. Dan aku tahu apa yang harus aku lakukan, yaitu memperlambat kecepatan motorku lalu berbelok ke arah yang memungkinkan. Tapi perkiraanku salah, aku membelokkan motorku dan ternyata di belakangku terdapat truk gandeng yang siap menabrakku. Diin diin diin diin diin diiiiiin..dan aaaaaaw! Oke, ternyata aku terjatuh dari kasurku dan membentur lantai kamarku. Dan ternyata, bunyi yang mengagetkan itu berasal dari alarm handphoneku yang telah aku atur tepat pukul 01.00. Wuh syukurlah!
Aku segera mengumpulkan seluruh jiwaku yang mungkin saja masih berbelanja di mall atau yang sedang hangout dengan jiwa yang lain. Dan akhirnya seluruh jiwaku berkumpul di dalam diriku. Ingatan duniawiku sudah kembali normal, dan aku tersadar bahwa hari ini sudah hari Senin dan aku ada UTS fisika, sehingga aku segera mengambil buku fisika dan menuju ruang keluarga untuk belajar. Untung saja orang tuaku juga sedang bekerja jadi aku tidak sendirian dan tidak akan membayangkan sesosok makhluk datang dengan muka menyeramkan. Orang tuaku memang terbiasa bangun dini hari untuk mengerjakan tugas mereka. Ya maklum ayahku seorang dosen dan ibuku seorang pegawai bank swasta. Hampir setiap malam mereka bekerja seperti ini.
Untung saja mimpiku malam ini tidak menjadi kenyataan. Sesampainya di sekolah, aku mendengar suara dengan aksen jawa kental menyapaku saat aku menginjak lantai kelas, “Hey masbrow! Duduk sini aja sama aku. Kan kita sama-sama ganteng masbrow.”aku langsung memincingkan mataku, tapi pada akhirnya kakiku berjalan ke arahnya. Dia kembali membangun kata-kata dengan wajah so manis, “Masbrow! Kan kemarin aku habis ngedesain kaos bola kelas kita terus langsung aku bawa ke tempat produksinya, eeeh taunya ya masbrow di jalan aku ketemu sama itu tuh si Vani, cewe kelas sebelah yang aku keceng dari dulu. Terus dia ngajak jalan soalnya dia bilang dia lagi suntuk banget abis berantem ama pacarnya. Ya kan kesempatan aja Masbrow aku jalan ama dia.”
Oke, sepertinya aku tahu apa maksud dia, “Iya jadi maksud kamu apa? Udah langsung to the point aja Gan,”
“Iya aku minta bantuan aja ya ke masbrow buat ngerjain fisika,”
“Aaah dasar! Udah ketebak tau kamu mau ngomong apa,”
“Hehe berarti udah ga mengejutkan lagi kan?”
“Ya iyalah, aku udah hafal tau sama kata-kata pengantar kayak gitu,”
“Jadi gimana nih masbrow? Mau ngebantuinkan?,” dengan muka berharap dan itu benar-benar membuatku menjadi mual.
“Iya, iya tapi hari rabu ini traktir makan siang sama nonton di bioskop,”
“Oke masbrow! Apa aja deh buat masbrow,” jawabnya sambil menepuk pundakku.
Wuiiih! Seperti biasa soal fisikanya DEWAAAAAAAA, tapi untung saja aku masih bisa mengerjakannya sekitar 80 persen, walaupun setelahnya aku keluar kelas dengan muka merah, tangan dingin, baju basah penuh keringan, dan otak panas. Memang terkadang aku merasa lebih berkeringat pada saat mengerjakan soal fisika yang dewanya tidak sampai ke nalar pelajar daripada pada saat pelajaran olah raga dan materinya hanya senam lantai atau circuit trainning.
Sepulang sekolah, aku nongkrong dulu di sekolah, eeeh tahunya pada saat aku melihat handphone sudah ada 2 SMS dan 7 misscall dari mamaku. Biasanya mama marah jika aku tidak mengangkat telepon darinya. Aku segera menelepon balik dan terdengar suara dari sebrang sana, “Maaf pulsa anda tidak cukup untung melakukan panggilan ini,”. “Aaaah sial!” timpalku spontan. Dan aku langsung mengambil tas, jaket, dan helmku lalu segera menuju parkiran motor dan pergi mencari kios penjual pulsa terdekat.
Di sepanjang jalan aku melirik ke kanan dan ke kiri seperti mamaku kalau lagi belanja, dan untunglah aku menemukan kios penjual pulsa beberapa ratus meter dari sekolah. Tapi aku merasa sedikit aneh, kios itu berada dekat dengan sekolahku, tapi aku baru pertama kali melihat kios itu. Ya sudahlah tidak penting juga. Aku segera memarkirkan motorku dan menuju ke sana. Wah penjualnya cewek! Cantik pula. Aku segera memasang muka so ganteng, tapi memang pada dasarnya mukaku sudah ganteng.
“Mbak, beli pulsa im3 lima puluh ribu ya,” kataku sambil mengeluarkan aura-aura kegantenganku.
“O iya mas silakan di tulis dulu nomernya di kertas di depan,” katanya sambil merapikan beberapa barang di sisi lain. Tetapi ternyata tidak ada baris kosong untuk menulis lagi . Terus dalam hati aku berpikir, “Ya iyalah penjualnya cantik gini pasti banyak yang beli hehehehe ga penting.”
“Mbak, ini kertasnya udah penuh,”
“Ooh sorry mas ini disini aja,” sambil mengeluarkan kertas bon pembayaran yang belakangnya masih kosong dari saku celananya.
Ya sudah aku tulis nomor handphoneku di kertas itu. “Mbak, ini udah,” kataku sambil mengulurkan tangan.
“O iya,” katanya singkat sambil duduk di depanku dan mengambil kertas bon pembayaran itu. Lalu dia mengetik sesuatu di handphonenya dan kembali memasukkan bon itu ke saku celananya. Kok tiba-tiba aku merasa tegang ya? Oke aku segera memberikan sugesti ke diriku sendiri, “Langit jangan salting (baca:salah tingkah), ini mbak emang cantik tapi kamu harus jual mahal dikit terus baru kamu ngeluarin jurus-jurus kamu”.
“Wah mas, operatornya lagi sibuk nih. Pulsanya mungkin rada lama nyampenya, mau gimana nunggu dulu sampe pulsanya nyampe atau mau pergi aja nanti kalau pulsanya ga masuk balik lagi aja ke sini nanti bakal dibalikin uangnya?”. Wah kebetulan sekali. Aku memang beruntung.
“Oh engga mbak ga papa ko aku nungguin aja lagi ga buru-buru ko,” hehe dengan muka so cool tapi dalam hati sebenarnya ingin teriak. Selama beberapa saat aku hanya dapat berdiam diri, tetapi aku segera mencari pertanyaan.
“Mbak, baru ya disini?” kataku dengan merasa sedikit takut kalau cewek ini tidak mau menjawab pertanyaanku ini. Eh, tetapi untungnya dia tidak hanya cantik tapi juga manis. Dia langsung menjawab pertanyaanku dengan senyuman manis dari bibirnya.
“Iya mas,” katanya singkat. Aku segera mencari pertanyaan lainnya supaya percakapan ini dapat terus berlanjut.
“Mbak, asalnya dari mana?”
“Saya dari Jakarta mas,”
“Oh gitu, tinggal disini sama siapa mba?”
“Saya tinggal sendiri mas,”
“O iya? Emang keluarga tinggal dimana?”
“Orang tua saya udah meninggal mas tapi keluarga besar saya tinggal di Surabaya, sebelumnya saya tinggal di Jakarta sama kakak laki-laki saya, tapi saya milih tinggal sendiri aja biar ga ngerepotin kakak saya sama keluarga saya. Sebelum ke Jakarta saya tinggal di Surabaya, tapi keadaan keluarga saya di Surabaya sangat pas-pasan, jadi kakak saya mengajak saya untuk tinggal di Jakarta,” aku tidak menyangka dia akan bercerita sampai sedetail itu. Aku bingung mau menanyakan apa lagi, pertanyaan tadi saja menurutku sudah terlalu pribadi.
“Oh gitu, mba udah punya pacar?” huuuuh akhirnya aku berani menanyakan hal itu, walaupun sekarang aku keringat dingin menunggu jawaban darinya.
“Belum mas,” waaaaaah kesempatan yang sangat baik menurutku. Aku ingin teriak sekencang mungkin dan loncat dari atas gedung. Loh? sepertinya opsi terakhir itu terlalu berlebihan.
“O iya mas itu pulsanya udah nyampe,”
“O iya mba udah, makasi ya mba,” kataku sambil mengeluarkan uang 51.000 ribu rupiah. Lalu aku teringat sama mamaku. Ya sudah aku segera menelpon mama. Kemudian terdengar suara mama di seberang telepon, “Mas ada dimana?”
“Aku di kios pulsa deket sekolah ma pulsa aku abis, ada apa ma?”
“Itu cepet jemput adik kamu, Bunga, di tempat lesnya. Mama ga bisa jemput nih mama masih di kantor. Jangan lupa Bunga keluar jam enam ya,”
“Iya ma siap-siap,” kataku sambil melihat jam di tangan kananku, dan ternyata sekarang sudah pukul 17.55 WIB. “Ya udah ya ma aku mau jemput Bunga dulu,” kataku sambil memutuskan telepon dan segera menuju ke tempat lesnya Bunga.
Sesampainya di rumah, aku baru ingat kalau aku lupa menanyakan nama si cewek itu. Aaaaaah sial! Kenapa bisa lupa ya? Hah ya sudah mau bagaimana lagi. Aku mencium bau badanku sendiri dan ternyata BAUUUUUUUUU banget. Ya sudah aku langsung menuju kamar untuk menaruh tas dan segera menuju kamar mandi.
Selama malam itu aku selalu teringat dengan cewek itu. Wajahnya terus terbayang dalam benakku. Untung saja besok tidak ada pr ataupun ulangan, jadi aku tetap dapat membayangkan wajahnya. Jam di kamar telah menunjukkan pukul 22.30 WIB dan aku memutuskan untuk tidur. Tiba-tiba pada saat aku tertidur lelap, aku terbangun karena ada telepon masuk di handphoneku, tapi aku tidak mengenal nomor tersebut. Dengan jiwa yang belum seutuhnya berkumpul, aku mengangkat telpon itu dan terdengar suara dari sebrang. Suara itu sepertinya suara perempuan dan aku mengenalnya, itu suara si penjual pulsa. Secara seketika jiwaku semuanya berkumpul di tubuhku, dan aku segera memfokuskan apa yang dikatakan si penjual pulsa itu, “Mas, tolongin saya mas, saya Sheila penjual pulsa di deket sekolahnya mas. Waktu itu mas beli pulsa im3 di tempat saya,” katanya dengan terburu-buru dan suara sedikit dipelankan.
“O iya aku inget, ada apa mbak?” kataku khawatir.
“Tolong saya mas, sebenarnya saya pindah ke Bandung itu untuk melarikan diri dari kakak saya yang mau menjual saya menjadi pelacur di Jakarta. Saya waktu itu menumpang truk yang mau ke Bandung, saya cuma punya sedikit uang dan engga cukup buat pulang ke Surabaya. Tolong mas, kakak saya berhasil menemukan saya tadi malam, saya di bawa ke suatu tempat dan sekarang saya ga tahu ada dimana tapi saya masih di Bandung kayaknya. Tolong saya mas, cuma mas yang bisa saya mintain tolong. Nomor mas ga sengaja masih kesimpen di saku celana saya dan ini kesempatan saya satu-satunya buat nelfon mas soalnya ini handphone punya teman kakak saya yang ga sengaja digeletakin di meja. Handphone saya diambil sama kakak saya. Mas tolong saya mas, saya takut,”
“Iya mba, gini aja mba pas dibawa ketempat itu mata mba di tutup ga?”
“Engga mas,” jawabnya gemetar.
“Apa yang mba lihat di perjalanan sama di sekitar tempat mba sekarang,?”
“Pas di jalan saya ngelewatin mall gede gitu terus setelahnya saya ngedenger suara kereta api lagi mau berhenti, di deket suara kereta api itu saya lihat banyak bangunan-bangunan tua dan banyak orang disana. Lalu mobil yang saya tumpangi masuk ke jalan kecil dan saya dibawa ke rumah kecil warnanya hijau muda,  pagarnya warna putih setinggi setengah badan, ada dua kursi plastik warna putih di teras depan. Cuma itu mas yang bisa saya ingat, o iya mas Adzan terdengar jelas mas dari sini dan saya ditempatkan di kamar kedua dari pintu. Tolong saya mas ada kemungkinan saya disini selama sehari atau dua hari lagi soalnya setahu saya mobil yang kakak saya bawa  mogok dan dia ada urusan dulu di Bandung. Mas, teman kakak saya udah datang. Tolong saya mas,” tut..tut...tut.... Aku hanya terdiam selama sesaat, kemudian dinginnya malam yang membelai kulitku mengingatkanku apa yang harus aku lakukan. “O iya catat informasinya,” perintahku dalam hati.
Aku mengambil pena dan merobek kertas kosong dari buku pelajaranku, lalu mulai mencatat. Aku membayangkan letak Sheila berada. Dan berpikir apa yang harus aku lakukan. Aaah aku belum bisa berpikir! Ya sudah aku memutuskan untuk kembali tidur dan memikirkannya keesokan harinya. Aku kesulitan untuk tidur dan terus memikirkan apa yang terjadi pada Sheila. Tapi lama-kelamaan, karena dinginnya malam, aku kembali tertidur.
Keesokan harinya aku terbangun dan langsung memikirkan Sheila lagi. Aku berpikir untuk memberi tahu mama dan aku melakukannya. Tapi mamaku hanya menjawab, “Ya udahlah mas langsung lapor polisi aja.” Aaah makin bingung! Tapi aku berpikir mungkin akan lebih cepat kalau aku yang bertindak, lagi pula aku tidak memiliki bukti yang kuat.
Sesampainya di sekolah aku langsung duduk disebelah Gandi dan bercerita apa yang telah terjadi.
“Wah! Terus kamu mau gimana?” jawabnya kaget.
“Ya ga tau makanya aku nanya kamu, Gan. Pusing nih aku ingin nolongin tapi ga tau gimana,”
“Tapi menurut aku sih mending kamu ikutin kata mama kamu aja, kamu lapor polisi dan kamu ga perlu ribet.” Percuma juga menanyakan hal ini kepada Gandi, dia anaknya tidak pernah serius.
Pada saat istirahat pertama tiba, aku masih memikirkan Sheila. Dan berniat untuk turun tangan sendiri. Aku menuju ke kantin dan membeli segelas jus mangga dan terus berpikir apa yang harus aku lakukan. Kemudian aku mulai berpikir dimana letak Sheila berada dan menyambungkan segala petunjuk yang telah aku dapatkan. Aku membuka catatan informasi yang aku tulis tadi malam dan membacanya secara terperinci. Dan sedikit demi sedikit aku menemukan apa yang aku cari. Aku mengingat-ingat satu-satunya letak gedung-gedung tua yang sering didatangi orang di kota Bandung yaitu di Jalan Braga, dan Jalan Braga dekat dengan stasiun kereta api. Dan memang kalau menuju ke sana dari arah sekolah pasti melewati sebuah mall, yaitu Bandung Indah Plaza. Oke, aku segera memutuskan setelah pulang sekolah aku akan mencari rumah dimana Sheila disekap.
Setelah bel berdering empat kali, satu per satu murid di kelas keluar dan tersisalah aku yang masih sibuk membereskan buku-bukuku ke dalam loker, karena aku berpikir tidak mungkin aku membawa banyak barang yang tidak akan aku gunakan pada saat pengintaian nanti. Pada saat aku mengunci loker, Gandi kembali masuk ke kelas dan menghampiriku.
“Hey masbrow! Lagi apa? Tumben nyimpen buku-buku di loker?”
“Iya aku mau nyari dimana Sheila, Gan,”
“Gila kamu! Kenapa ga kamu serahin sama yang berwenang aja sih?! Emang kamu yakin kamu bisa nyelamatin dia sendirian gini? Dan dia itu bukan siapa-siapa kamu kan! Jangan gila Langit!” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku menghiraukan apa yang Gandi katakan, karena tidak ada gunanya berdebat dengan Gandi sekarang. Apapun yang dia lakukan aku akan tetap menolong Sheila seorang diri.
Aku memacu motorku dan menyusuri setiap jalan kecil di dekat Jalan Braga. Hampir dua jam aku mencari dan bensinku sudah hampir habis, sehingga aku memutuskan untuk mengisi bensin terlebih dahulu dan kembali mencari dimana Sheila berada. Aku menyusuri jalan-jalan kecil yang belum aku lewati dan mencari rumah dengan ciri-ciri seperti yang Sheila katakan, rumah kecil berwarna hijau muda, berpagar putih, dan terdapat dua kursi plastik putih di terasnya.
Matahari sangat panas dan keringatku bercucuran dengan derasnya. Lalu aku menemukan masjid dan memutuskan untuk sholat maghrib terlebih dahulu. Setelah sholat maghrib, aku duduk di teras masjid dan hampir putus asa menolong Sheila. Aku tidak mungkin pulang ataupun memberi kabar ke rumah, karena pasti mama melarangku untuk menolong Sheila. Aku memutuskan untuk mennon-aktivekan handphoneku.  Maafkan aku ma, aku mungkin akan membuat mama sangat khawatir. Aku semakin bingung. Aku membuka kembali catatan informasi yang aku simpan di saku kemejaku. Aku melihatnya satu per satu, tetapi tetap tidak tahu harus mencari dimana lagi. Hampir semua jalan sudah aku lalui. Aku memutuskan untuk kembali menyusuri jalan-jalan yang telah aku lalui, mungkin saja rumah itu terlewatkan begitu saja olehku.
Aku kembali ke motorku dan menuju ke jalan-jalan yang telah aku lewati. Pada saat aku menyusuri jalan-jalan kecil dan melihat ke sekeliling, samar-samar aku mendengar suara adzan yang menunjukkan bahwa sekarang sudah saatnya sholat isya. Tidak lama kemudian, aku tersadar bahwa aku melupakan satu petunjuk yang di berikan Sheila. Sheila mengatakan bahwa dia dapat dengan jelas mendengar adzan dan itu berarti rumah dimana Sheila disekap dekat dengan masjid. Dan dari tadi, slama aku mencari dimana Sheila berada hanya ada satu masjid, dan itu adalah masjid tempat aku sholat maghrib. Setelah menyadari hal itu, aku langsung kembali ke jalan kecil dimana masjid itu berada dan mulai mencari rumah dengan ciri-ciri yang Sheila sebutkan. Dan untunglah aku menemukan satu rumah yang benar-benar sesuai dengan ciri-ciri yang Sheila sebutkan dua blok dari masjid. Kemudian aku kembali ke masjid dan sholat isya terlebih dahulu.
Setelah sholat isya, aku kembali duduk di teras masjid dan memikirkan apa rencana selanjutnya. Otakku terus berpikir sama seperti kemarin pada saat ulangan fisika, tetapi bedanya aku tidak menemukan jawaban apapun dengan menggunakan segala rumus yang aku tahu. Aku memperkirakan selain Sheila ada dua orang lain di rumah itu. Yang satu kakaknya Sheila dan yang satunya teman kakaknya. “Ayo berpikir Langit!” perintahku pada otakku. Aku berpikir apa aku berpura-pura menjadi ketua RT? Ah tidak aku tidak setua itu. Bagaimana kalau aku berpura-pura sebagai pedagang mie tek-tek? Em sepertinya itu juga tidak, mungkin saja mereka tidak suka mie tek-tek. “Apa dong?” tanyaku lagi pada otakku. Kalau aku menjadi pengamen? Tidak cocok sepertinya untukku, atau mungkin mereka tidak akan membukakan pintu, lagi pula suaraku tidak begitu bagus kurasa. Oh aku tahu! Aku bisa menyamar sebagai sales! Tapi apa yang mau aku jual ya? Bagaimana kalau pemutih kulit? Aah tidak-tidak. Kalau perontok segala jenis bulu? Em sepertinya mereka tidak akan tertarik. Pelangsing badan dan penghilang kantung mata? Tidak juga. O iya aku tahu ramuan pembesar otot! Iya iya pasti mereka suka. Dan nanti aku akan mengganti ramuan pembesar otot dengan obat pencahar perut, jadi pada saat mereka pergi ke toilet aku akan mendobrak pintu kamar Sheila dan menyelamatkan Sheila. Sepertinya rencana ini begitu sederhana, tetapi semoga saja berhasil.
Aku melihat jam ditanganku dan jam menunjunjukkan pukul 22.00 WIB. Wah ternyata lama juga aku berpikir! Aku memutuskan untuk tidur dengan masih memakai seragam sekolah di teras masjid berselimutkan dinginnya angin malam yang membelai lembut ke sekujur tubuhku. Dan aku pun terlelap ditemani sang bulan dan ribuan bintang.
Aku terbangunkan oleh adzan subuh. Aku segera berwudhu dan sholat berjamaan bersama yang lain. Setelahnya, aku kembali duduk di teras masjid sambil meminum bandrek panas yang kubeli dari tukang minuman keliling. Aku kembali menyusun rencana untuk menyelamatkan Sheila di hari Rabu ini, hari dimana seharusnya aku bersekolah seperti biasa. Aku memastikan semua rencanaku tersusun secara rapi.
Jam tanganku menunjukkan pukul 07.00 WIB dan aku segera menuju motorku untuk membeli sarapan. “Aku butuh banyak tenaga untuk melakukan semua ini,” kupikir. Aku pergi menyusuri jalanan dan menemukan kedai nasi goreng. Aku memarkirkan motorku di sebelah kedai itu. Setelah cukup mengumpulkan energi, aku memutuskan untuk pergi membeli semua kebutuhanku untuk menyelamatkan Sheila. Jam menunjukkan pukul 08.30 WIB dan sudah banyak toko-toko yang sudah buka. Tujuan pertamaku yaitu pergi ke mall untuk membeli baju. Untung saja aku membawa uang cukup banyak hari ini. Di mall, aku membeli kemeja, celana formal, dasi, pakaian pribadi, dan peralatan mandi. Kebetulan aku selalu membawa parfum dan sepatuku kurasa sudah cukup formal. Kemudian aku membeli air mineral, beberapa botol minuman pembesar otot dari merek terkenal, tali yang cukup kuat, palu, lakban hitam, dan tidak tahu kenapa aku tertarik untuk mengambil merica bubuk. Setelah aku selesai berbelanja di mall, aku menuju apotik untuk membeli obat pencahar perut. Semua aku lakukan tanpa halangan sedikitpun. Setelah semua kebutuhan telah kubeli, aku kembali menuju halaman masjid untuk mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan.
Sesampainya disana, aku tidak membuang-buang waktuku, aku segera mempersiapkan semuanya. Pertama aku mandi dan berdandan ala sales, kemudian aku meracik ramuan pembesar ototku. Aku membeli lima botol obat pembesar otot dari merek terkenal, kemudian salah satu botol aku buang isinya dan aku isi penuh dengan obat pencahar perut. Kemudian mataku tertuju pada bubuk merica yang aku beli, lalu aku mengambil bubuk merica itu dan berpikir apa yang akan aku lakukan dengan merica ini. Tak lama kemudian aku menemukan ide, aku mencampur bubuk merica itu dengan air mineral yang sudah aku beli. Setelah semua kurasa siap, aku memasukkan semua perlengkapan penyelamatanku yang kuberi nama “Oprasi Pelatuk Menyela” yang merupakan singkatan dari Oprasi Penyelamatan Dari Langit Untuk Menyelamatkan Sheila. Oke, sebenarnya singkatan itu sedikit memaksa, tapi yasudahlah. Jam sudah menunjukkan pukul 11.50 WIB dan aku segera menuju rumah di mana Sheila disekap. Tidak lupa aku menutupi plat nomor motorku dengan lakban hitam yang telah ku beli, ini hanya untuk berjaga-jaga agar motorku tidak terlacak oleh mereka.
Keadaan rumah itu sangat sepi dan terlihat tidak berpenghuni. Banyak tanaman merambat yang tidak terurus menjulur sampai ke pagar putih yang juga berkarat. Warna hijau muda yang mewarnai dinding rumah berlantai dua itu semakin pudar termakan oleh waktu. Aku memakirkan motorku di depan sebuah rumah di samping rumah hijau muda itu. Aku mengamati keadaan rumah itu dari balik pohon besar di sebrang rumah itu, tidak ada pergerakan sama sekali. Dan aku melihat sebuah mobil yang terparkir di depan rumah hijau muda itu, aku berpikir mungkin saja mobil itu mobil yang digunakan untuk menculik Sheila.
Aku mencoba untuk masuk ke rumah itu, tapi pada saat aku mau melangkahkan kaki, aku melihat seorang pria keluar dari rumah itu. Orang itu mirip sekali dengan Sheila, dan aku mengambil kesimpulan bahwa dia adalah kakaknya Sheila. Berarti, apabila dugaanku benar, hanya tinggal satu orang di rumah itu. Aku menunggu beberapa saat sampai kakaknya Sheila tidak terlihat lagi. Kakaknya Sheila pergi dengan berjalan kaki, jadi ada kemungkinan dia hanya pergi sebentar. Oke, aku harus bertindak cepat.
Setelah kakaknya Sheila sudah tidak terlihat lagi, aku memberanikan diri pergi menuju rumah hijau muda itu. Aku merapikan pakaianku sebentar dan memastikan bahwa aku sudah seperti seorang sales, kemudian aku membuka pagar rumah dan pergi menuju pintu rumah. Perasaan takut kembali aku rasakan, detak jantungku semakin kuat berdetak, tapi aku segera mengusir semua perasaan itu dan mulai mengetuk pintu. Tok...tok...tok.... Tak lama kemudian datang seorang pria berbadan tegap. Pada awalnya, aku merasa kaget dan tidak tahu harus berkata apa. Tapi tiba-tiba secara spontan keluarlah rangkaian kata-kata dari mulutku layaknya seorang sales yang telah berpengalaman.
“Selamat siang mas,” sapaku.
“Iya siang, ada apa ya mas?” tanyanya sambil sedikit memincingkan mata.
“Gini mas, saya mau menawarkan produk kami dengan harga yang lebih murah,”
“O engga mas saya ga tertarik,” jawabnya singkat sambil bergerak menutup pintu.
“Masa sih mas, tapi menurut saya mas perlu coba deh. Saya menawarkan minuman pembesar otot,” timpalku balik.
“Oh gitu ya mas, boleh-boleh, eem kita ngobrol di teras aja ya,”
“O iya mas silakan saja,” jawabku. Aah rencanaku sedikit terhambat, tapi kurasa masih ada jalan lain.
“Iya mas jadi gini saya mau menawarkan ke mas minuman pembesar otot. Ini tuh kayak tambahan suplement gitu,” kataku mencoba meyakinkan.
“Terus gimana efek samping sama cara pakainya?”
“Jadi mas tinggal minum ini aj a terus rutin olahraga aja, sehari cukup ko 30 menit juga. Efeknya sih kalau mas minum ini tapi gak olah raga, mas malah bukan dapet otot tapi malahan dapet lemak,”
“Wah kalau saya sibuk gimana kan ga sempet olah raga?” tanyanya.
“Gini aja mas olah raga itu kan gak cuma ngegym, lari, atau angkat barbel. Tapi mas ngangkat-ngangkat benda yang cukup berat juga udah cukup ko mas,” timbalku serasa memang aku ahlinya.
“Terus efeknya kerasa setelah pemakaian berapa lama?”
“Ya paling sekitar sebulan aja sih mas, dengan pemakaian rutin sehari sekali,”
“O gitu, ya ya, harganya berapa mas?”tanyanya antusias. Yee! Akhirnya dia tertarik juga. Wuuuh!
“Harganya cuma tujuh ribu aja ko. Khusus penawaran yang sekarang mas kalau beli 3 gratis 1,” kataku sambil mengeluarkan 4 buah botol yang masih tersegel rapi. “Nah, mas juga boleh nyobain samplenya dulu. Nanti kalau mas berminat untuk membeli lagi mas bisa dateng ke toko-toko swalayan,” tambahku sambil membuka ramuan pembesar otot yang telah aku ganti dengan obat pencahar perut. Kemudian dia mengambil botol minuman itu dari tanganku dan menciuma aroma ramuan itu.
“Mas ko baunya ga enak banget ya?” tanyanya dengan muka yang sedikit aneh.
“Iya mas emang baunya rada ga enak, tapi lama-kelamaan juga terbiasa ko mas,” jawabku mencoba meyakinkan. Dan ternyata dia termakan omonganku. Dia meminum ramuan itu sampai habis. Dan beberapa saat kemudian, efek minuman itu mulai terasa.
“Mas mas, gini mas perut saya tiba-tiba sakit. Mas tunggu dulu aja disini, saya bakalan beli obatnya ko mas. Tunggu sebentar ya mas,” katanya sambil bergegas menuju kamar mandi. Aku pun segera bertindak sigap. Aku segera masuk ke dalam rumah dan mengeluarkan tali dari tasku. Aku menuju ke kamar mandi dengan tali di tanganku. Segera aku mengikatkan pegangan pintu kamar mandi dengan pegangan tangga sekuat yang aku bisa.
Setelah kupastikan bahwa talinya kuat, aku menuju kamar yang dideskripsikan oleh Sheila. Samar-samar terdengar suara perempuan meminta tolong, dan suara itu adalah suara Sheila. Akhirnya, aku menemukannya. Aku segera berlari menuju kamar dimana asal suara Sheila berasal. “Sheila, ini aku Sheila,” kataku terengah-engah.
“Iya mas, tolong saya mas,”
“Iya, aku mau nyoba ngedobrak pintu kmu, kmu jangan di deket pintu,” pintaku. Aku pun mencoba mendobrak dengan badanku sendiri. Duk... tapi, badanku tidak cukup kuat untuk melakukannya. “Mas, mas ga papa?” tanya Sheila.
“Iya, iya ga papa ko Sheila,” jawabku. “Ah bikin malu saja!” pikirku. Samar-samar terdengar suara dari dalam kamar mandi.
“Hey siapa yang mengunci pintu? Cepat buka!” kata pria itu. Pria itu terus mencoba membuka pintu kamar mandi, tapi usahanya tetap tidak berhasil. Tak lama kemudian, pria itu menelepon seseorang yang aku duga itu adalah kakaknya Sheila. “Anton lu dimana? Cepetan balik kesini, Sheila mau dibawa kabur sama cowo yang nyamar jadi sales! Gue ga tau dia siapa. Cepetan kesini Ton, gue dikunci di kamar mandi!”.
“Wah gawat! Aku harus bertindak cepat!” pikirku. Dengan sigap aku mengambil palu dari dalam tasku dan memukulkannya ke pegangan pintu kamar Sheila. Tetapi tidak berhasil. Aku terus berusaha membuka pintu kamar Sheila, dengan terus memukulkan palu itu pada pegangan dan kunci kamar. Dan akhirnya, kunci kamar itu berhasil aku rusak walaupun hanya sebagian. Aku mencoba menendang pintu kamar itu, tapi tetap tidak terbuka. Aku mundur beberapa langkah. Menarik nafas panjang dan mencoba meyakinkan diriku sendiri. Satu dua tiga! Aku mengambil ancang-ancang dan mendobrak pintu itu. Dan berhasil!
Kamar itu hanyalah kamar kecil berukuran 3x3 meter, dan di salah satu sudut kamar berdirilah Sheila yang ketakutan. Aku menghampiri Sheila dan mengajaknya berbicara. “Sheila kamu gapapa?”
“Iya mas, saya ga papa. Saya takut mas,” kata Sheila sambil memegang tanganku.
“Udah Sheila sekarang tenang aja, aku bakal mulangin kamu ke Surabaya ko. Disana kamu bisa ceritain semuanya ke keluarga kamu dan apa yang kamu takutkan ga bakalan terjadi. Sekarang ayo kita pergi dari sini,” kataku sambil mencoba menenangkannya. Aku merangkul pundak Sheila dan mengajaknya pergi dari rumah itu. Aku mengambil tasku dan berjalan menuju motorku. Tetapi di teras rumah, aku dan Sheila di sambut oleh kedatangan Anton. Aku kembali merasa takut, tetapi setelah merasakan genggaman tangan Sheila yang semakin erat di lenganku, ketakutankupun sirna. Aku segera berpikir apa yang harus aku lakukan. Aku mengambil botol yang berisi air merica dari dalam tasku dan membuka tutupnya. Lalu aku merangkul Sheila semakin erat.
“Heh, lepasin adik gue!” kata Anton sambil berjalan perlahan ke arah kami.
“Engga, aku ga mau tinggal sama kamu lagi mas!” balas Sheila dengan suara gemetar.
“Tuh, lu dah dengerkan apa kata adik lu sendiri. Kakak macam apa yang mau ngejual adiknya? Emang bener-bener lu udah ga waras tau ga?” jawabku membela Sheila.
“Apasih yang lu tau? Elu tuh ga tau apa-apa tau ga? Ga usah ikut campur, ini urusan keluarga,”
“Kata siapa gue ga tau? Gue tau semuanya, “ timpalku sambil menyirampamkan air merica ke wajah Anton.
“Aaaw! Sialan lu!” jawabnya kasar.
Aku dan Sheila segera berlari menuju motorku selagi Anton sibuk mengelap wajahnya dengan kaos yang ia pakai. Aku segera menyalakan motorku dan memacunya secepat mungkin. Tapi Anton tidak menyerah begitu saja, ia menghalangi jalan motorku. Tetapi itu bukan masalah, aku mengelabuhinya dan berhasil lolos. Dia sempat memegang motorku, tapi itu pun tidak lama. Kemudian dia mengucapkan kata-kata perpisahan yang tak kami pikirkan lagi, “Heh Sheila, pergi lu jauh-jauh! Gue ga butuhin lu lagi!”.
Aku merasa sangat lega dan tenang setelah pergi jauh dari rumah itu. “Sheila, sekarang aku mau bawa kamu ke rumahku dulu ga papa? Besok pagi aku bakal anterin kamu ke stasiun jadi kamu bisa pulang ke Surabaya,” kataku pada Sheila di perjalanan. Tapi dia hanya mengangguk saja. “Ya mungkin dia masih trauma,” pikirku.
Sesampainya di rumah, mama menyambutku dengan wajah yang terlihat sangat khawatir, “Mas, kamu dari mana? Mama sama ayah nyariin kamu kemana-mana tau ga? Mama sampe bolos kerja hari ini buat nyariin kamu! Jangan bikin mama khawatir gini dong! Mama udah nanya ke temen-temen kamu tapi semuanya ga ada yang tahu.”
“Udah dong ma, mending kita dengerin dulu alesannya Langit. Ayo Langit masuk rumah. O iya itu ajak juga temenmu masuk,” kata ayah menenangkan mama dan sekaligus membelaku. Iya, memang ayahku sangat bijak. Dia jarang sekali marah.
Kami semua duduk di ruang keluarga, Sheila duduk terdiam di sebelahku, dan ayahku yang duduk di sebelah mamaku langsung menanyakan apa yang terjadi. Mamaku menatapku dengan penuh amarah sekaligus khawatir. “Langit kemana saja kamu dari kemarin?”
“Gini ma, yah, ini Sheila. Aku ketemu Sheila pas di kios pulsa hari Senin. Sheila ini tinggal di Bandung sendirian, sebelumnya dia tinggal di Jakarta sama kakaknya. Tapi Sheila mau di jual sama kakaknya jadi pelacur, makanya Sheila kabur ke Bandung. Terus pas hari Senin malam, kakaknya dia berhasil nemuin dia dan dia dibawa ke suatu rumah. Sheila ga sengaja masih nyimpen nomer aku. Pas di tempat dia disekap dia nemuin handphone yang ga sengaja ditinggal sama teman kakaknya. Nah dia langsungnelfon aku soalnya nomer yang di tahu cuma nomer aku dan keluarga besarnya tinggal di Surabaya,” jelasku.
“Iya, tapi kenapa kamu ga ngabarin mama? Mama nelfon kamu juga ga bisa?” tanya mama dengan air mata mengalir dari kedua matanya.
“Maafin aku ma, aku takut mama ngelarang aku buat nolongin Sheila,” jawabku dengan penuh rasa bersalah. Aku berjalan menuju orang tuaku dan memeluk mereka, dan mereka membalas pelukanku.
“Iya Langit maafin mama ya, mama udah sempet ngelarang kamu buat nolongin Sheila,”
“Iya ma, ga papa ko, aku juga salah. Mama, malam ini Sheila boleh nginep dulu disini ga? Besok pagi aku bakal anterin dia ke stasiun buat pulang ke Surabaya?”
“Iya ga papa ko nanti mama siapin kamar buat Sheila, Sheila nanti pake baju mama dulu aja, ga papa kan Sheila?” tanya mama pada Sheila.
“O iya ga papa tante, makasi banyak,”
“Sheila masih inget jalan ke rumah keluarganya Sheila di Surabaya?” tanya mama lagi.
“Masih ko tante,”
“Syukurlah, ya udah Langit kamu ke kamar gih mandi terus istirahat. Nanti kalau makanannya udah mateng, mama panggil kamu,” kata mama.
“Oke ma,” jawabku.
“O iya Sheila ikut tante yuk biar tante tunjukin kamar kamu,”
“Iya tante,” jawab Sheila.
Sebelum aku menuju kamarku, aku melihat ke arah Sheila lagi. Dan dia pun melihat ke arahku dengan sebuah senyuman indah di wajahnya. Dia mengucapkan beberapa kata yang tidak terdengar oleh siapapun termasuk olehku, tapi aku mengerti apa yang diucapkannya yaitu “Terima kasih,”. Aku membalasnya dengan senyuman lagi.
Malam ini kurasakan begitu tenang dan damai. Seakan-akan semua bebanku sudah terhapuskan. Aku masih mengingat bagaimana cara dia tertawa bersama keluargaku pada makan malam tadi. Senyumannya pun melengkung sempurna di wajahnya. Tak pernah kulihat senyuman yang begitu bahagia dan lepas seperti senyuman Sheila tadi. Aku bersyukur, semua rencana “Oprasi Pelatuk Menyela”ku dapat berhasil dengan sempurna. Kenangan itu terus teringat dalam memori otakku. Tapi rasa lelah badanku telah mengalahkan kekuatan fisikku, aku terbaring di kasurku dengan selimut hangat di sekujur tubuhku.
Keesokan harinya, aku bangun dengan segar. Aku segera mandi dan menuju ke bawah untuk sarapan. Di meja makan aku melihat seluruh keluargaku, termasuk Sheila, duduk di meja makan. Aku pun segera duduk dan menyantap nasi goreng yang mama buat. Semua ini terasa sangat nikmat sekarang. Setelah sarapan selesai, ayahku bertanya pada Sheila, “Sheila gimana udah siap pulang ke Surabaya?”
“Iya om, udah,” jawab Sheila singkat.
“Ya udah, Langit anterin Sheila ya sampai gerbong kereta,”
“Iya yah,” jawabku sambil meminum segelas susu.
“O iya, Langit jadwal kereta menuju Surabaya jam berapa?”
“Ada yah yang jam 6 sama yang jam setengah 8,” jawabku.
“Kalau begitu lebih baik kalian pergi sekarang, ayah rasa lebih baik Sheila naik kereta yang jam 6,”
“Oke ayah. Sheila barang-barangmu udah kamu siapin semua?” tanyaku pada Sheila.
“Iya mas udah, semuanya udah di taruh di ruang keluarga,”jawab Sheila dengan manisnya.
Kami semua menuju ruang keluarga, Sheila mengambil tasnya dan berpamitan dengan orang tuaku dan juga Bunga, “Om, tante, makasi banyak atas bantuannya. Maaf banget udah ngerepotin om sama tante. Bunga, makasi ya udah mau bagi-bagi cerita sama kakak tadi malem.”
“Iya kak, Bunga juga seneng ko. Nanti kalau mampir lagi ke Bandung, mampir ke sini ya,” kata Bunga sambil memegang tangan Sheila.
“Iya Sheila, kita ga kerepotan sama sekali ko. Ya udah Langit ayo antar Sheila ke stasiun, dari pada nanti ketinggalan kereta,” kata mama ramah.
“Oke ma, ayo Sheila,” kataku sambil mengambil tas dan menuju motorku di luar diikuti dengan Sheila dan keluargaku.
“Ma, yah, aku pergi dulu ya,” kataku sambil mencium kedua tangan orang tuaku.
“Iya hati-hati ya mas,” kata mama.
“Om, tante, Bunga, sekali lagi makasi ya atas semuanya. Sheila ga tau mau ngebales pakai apa sama keluarga ini. Sheila bersyukur banget bisa ketemu sama keluarga yang baik sama Sheila. Ya udah, Sheila pulang dulu ya,” kata Sheila sebagai kata-kata perpisahan. Sheila pun mencium tangan kedua orang tuaku dan segera menaiki motorku. Diperjalanan, Sheila bercerita bagaimana senangnya dia berada di tengah-tengah keluargaku. Aku pun ikut senang mendengar ceritanya. Syukurlah, dia sudah dapat melupakan traumanya.
Sesampainya di stasiun kereta api, aku langsung membelikan Sheila tiket menuju Surabaya. Aku pun mengantarkan Sheila sampai tempat duduk.
“Sheila, kamu masih menyimpan nomorku kan? Kalau kamu udah sampe rumah, kamu kabarin aku ya,” pintaku padanya.
“Iya mas saya bakal kabarin mas sama keluarga mas ko,”
“Ya udah aku mau pergi dulu ke sekolah. Kamu hati-hati ya Shila,” kataku sambil meyakinkan diriku bahwa dia akan baik-baik saja.
“Iya mas, makasi ya atas bantuan mas,”
“Iya sama-sama,” kataku sambil berjalan keluar kereta.
Dari luar kereta aku melambaikan tanganku ke arah Sheila yang kulihat melalui kaca jendela gerbong, dan Sheila membalas lambaian tanganku. Lalu, aku segera kembali ke motorku dan menuju ke sekolah.
Sesampainya di kelas, aku disambut dengan omelan Gandi dengan aksen yang sangat aku kenal, “Hey masbrow! Kamu kemana aja woy? Tau engga, mama kamu tuh sampe nelfonin aku kamu dimana. Aku juga bingung kamu dimana. Emang kemarin kamu kemana sih? Ayo ceritain semuanya,”
“Udah-udah tenang, Gan. Iya nanti aku bakalan cerita. Eh tapi kamu ga lupa kan sama janji kamu neraktir makan siang sama nonton di bioskop?”
“Eh, ya ga bisa dong brow. Harusnyakan traktirannya kemarin, eh kamunya ga sekolah, ya udah berarti traktirannya udah ga berlaku lagi sekarang,”
“Yah, ko gitu. Parah-parah, ga bisa dong, Gan,”
“Tau ah,” jawabnya sambil berlari keluar kelas. Ah sial! Tapi ya tidak apa-apa, itu sudah tak berarti apa-apa lagi dibandingkan dengan keberhasilan menyelamatkan Sheila. Hari-hari ini aku jalani dengan tenang dan penuh semangat. Seakan-akan segala rintangan yang aku alami tidak terasa berat lagi olehku.
Sesampainya di rumah aku segera mandi dan mengerjakan kegiatan sehari-hariku seperti biasa. Semua berjalan dengan lancar. Pada saat aku mencoba mengistirahatkan badanku, handphoneku berdering dan ada seseorang meneleponku dengan nomor yang tidak aku kenal. Aku pun langsung mengangkatnya, terdengar suara yang aku nantikan, itu Sheila.
“Hallo mas,” sapa Sheila.
“Hey Sheila, gimana udah sampe rumah?” tanyaku antusias.
“Iya mas, ini saya udah di rumah. Saya udah cerita semuanya sama keluarga saya. Keluarga saya berterima kasih banget sama keluarganya mas. Mas, titip salam buat semuanya ya mas!” katanya riang.
“Iya nanti saya sampein,”
“Ya udah ya mas, ini udah malem juga. Nanti kapan-kapan kita ngobrol lagi lewat telefon. Makasi ya mas, mas udah baik banget sama saya. Dadah,”
“Iya sama-sama Sheila, dah,” tut...tut...tut....
Percakapan singkat itu membuat hatiku semakin tenang sekaligus gembira. Aku akan mengabarkan hal ini kepada keluargaku esok hari. Dan, aku habiskan malam ini dengan tidur nyenyak di kasurku ditemani dengan selimut dan juga senyuman manis Sheila yang terus teringat di memoriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar